“ Pendidik dan Peserta Didik dalam Islam “
1.
Pendidik
dalam Islam
a. Definisi Pendidik
Menurut terminologi, sebagaimana
teori barat yang dikutip Ahmad Tafsir pendidik dalam Islam adalah orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cita), maupun psikomotorik (karsa). Ahmad Tapsir menambahkan,
pendidik adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak
didik, selanjutnya dalam Islam orang yang paling bertanggung jawab adalah orang
tua (ayah, Ibu) anak didik.
Pendapat lain seperti Suryosubrata yang dikutip oleh Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam,
pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada
peserta didik nya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai
tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya,
mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan
mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang
mandiri.
Pendidik pertama dan
utama adalah orangtua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas
kemajuan perkembangan anak
kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung kepada pengasuhan,
perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kandung merupakan cermin atas
kusuksesan orang tua
juga. Firman Allah SWT :
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”. (QS. At-Tahrim: 6)
Pendidik disini adalah mereka yang memberikan pelajaran
peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. Orang tua
sebagai pendidik pertama Dan utama terhadap anak-anaknya, tidak selamanya
memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anak-anaknya.
Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektifitas dan efisiensi pendidikan tidak
akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Oleh karena itu, anak
lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga sekolah. Penyerahan peserta didik ke
lembaga sekolah bukan berarti melepaskan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan
utama, tetapi orang tua
tetap mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya.
b.
Sifat-Sifat Pendidik
Dalam pendidikan Islam,
seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang membedakan dari orang
lain. Dengan karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam
seluruh totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian akan teraktualisasi
melalui seluruh perkataan dan perbuatannya. Dalam hal ini, an-Nahlawi membagi
karakteristik pendidik muslim kepada beberapa bentuk, yaitu :
·
Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud
dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
·
Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik semata-mata utuk mencari keridhaan Allah dan menegakkan
kebenaran.
·
Bersifat sabar dalam mengajarakan berbagai
pengetahuan kepada peserta didik.
·
Jujur dalam menyampaikan apa yang
diketahuinya.
·
Senantiasa membekali diri dengan ilmu,
kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
· Mampu menggunakan metode mengajar secara
bervariasi. Sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
· Mampu mengelola kelas dan peserta didik,
tegas dalam bertindak, dan profesional.
· Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
· Tanggap terhadap berbagai kondisi dan
perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola pikir
peserta didik.
· Berlaku adil terhadap peserta didiknya.
Sedangkan menurut Muhammad
Athiyah Al-Abrosyi menyebutkan tujuh sifat yang dimiliki oleh seorang pendidik
Islam :
· Bersifat
zuhud, dalam
arti tidak menggunakan kepentingan materi dalam pelaksanaan tugasnya, namun
mementingkan perolehan keridhoan Allah.
· Berjiwa
bersih dan terhindar dari sifat atau akhlak buruk, dalam arti bersih secara
fisik atau jasmani dan bersih secara mental dan rohani, sehingga dengan
sendirinya terhindar dari sifat atau perilaku buruk.
· Bersikap ikhlas dalam
melaksanakan tugas mendidik.
· Bersifat pemaaf.
· Bersifat
kebapaan, dalam
arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu
memikirkan masa depan mereka.
· Berkemampuan memahami
bakat, tabiat dan watak peserta didik.
· Mengusai bidang studi atau
bidang pengetahuan yang akan dikembangkan atau diajarkan.
c. Syarat Sah Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa
dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila
memenuhi dua criteria berikut :
· Alim yaitu mengetahui betul tentang segala
ajaran dan syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu
mentransformasikan ilmu yang komprehenshiv tidak setengah-setengah.
· Adil riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan
satupun dosa besar dan
mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak
hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya namun juga
pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta
didiknya. Di khawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang
bodoh, maka bukan hidayah yang diterima anak didik namun justru pemahaman-pemahaman
yang keliru yang berujung pada kesesatan.
d.
Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Menurut al-Ghazali,
tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan,
serta membawakan hati
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam
yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam paradigma Jawa
, pendidik diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”.
Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang
memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam
melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya
segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta
didiknya.
Sesungguhnya seorang
pendidik bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang
lain atau kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan, pengarah
fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam
pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu :
· Sebagai instruksional (pengajar), yang
bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah
disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program
dilakukan.
· Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan
peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan
tujuan Allah SWT menciptakannya.
· Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin,
mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait,
terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang
dilakukan.
Dalam tugas itu,
seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip
keguruan itu dapat berupa :
· Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar
seperti memerhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta
didik.
·
Membangkitkan gairah peserta didik
·
Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik
yang baik
· Memerhatikan perubahan-perubahankecendrungan
yang mempengaruhi proses mengajar
·
Adanya hubungan manusiawi dalam proses
belajar mengajar.
2.
Peserta
Didik dalam Islam
a. Definisi Peserta Didik dalam Islam
Secara etimologi peserta
didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi
peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan,
perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk
kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan.
Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami
fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun
fikiran.
Sebagai individu yang
tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik tersebut masih banyak
memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini
dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada pada usia balita seorang
selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun saudara yang lebih tua.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa peserta didik merupakan barang mentah
(raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga menjadi suatu produk
pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut
secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi
atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga,
pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat.
b. Tugas dan
Kewajiban Peserta Didik
Agar proses
pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu
mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik
hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada dua
belas kewajiban tersebut, yaitu:
· Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan
hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.
· Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan
fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.
· Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta
pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.
· Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan
yang panjang/matang.
·
Menghormati guru karena Allah dan senantiasa
menyenangkan hatinya.
· Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru
kecuali ada izinnya.
·
Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya
jika ia salah.
· Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu
yang lebih penting.
·
Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh
kasih sayang.
·
Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti
terdahulu memberi salam.
· Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya
pada waktu-waktu yang penuh berkat.
·
Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai
setiap ilmu.
Sementara
Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa
seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia
lakukan, yaitu:
· Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina
dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan
pendekatan batin kepada Allah.
· Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi
karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.
·
Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.
· Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga
diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya
di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah
ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat.
· Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang
pun dari ilmu-ilmu terpuji.
· Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu,
melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.
· Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika
telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi
secara berurut.
· Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor
penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.
· Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut
ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan,
sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan
malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
Tugas dan
kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu
yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas
dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya
baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan
dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.
c. Sifat-sifat
Ideal Peserta Didik
Selain dari
tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat
terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul
Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik
paling tidak meliputi sepuluh hal :
· Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila
Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan
diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya
meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman
Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).
· Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi
dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua
dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan
amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
·
Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
· Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul
dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai
pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat
untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan
menganggap diri paling benar.
·
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum
maupun agama.
· Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai
pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari
ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).
· Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih
pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
·
Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
·
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu
duniawi.
· Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan,
yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta
memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia
pada umumnya.
Dari
beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam
perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu
secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk
mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di
dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan
akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta
didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata
karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan
prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi
kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan
menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu
sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada
dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.
d. Hakekat
Peserta Didik
Peserta
didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan
menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan
yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Didalam
pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek
pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini,
maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan
pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Dasar-dasar
kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan
dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari
kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya,
dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih
jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :
·
Aspek Paedogogis.
Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia
sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam
kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang
dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan
hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya
dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.
·
Aspek Sosiologi dan Kultural.
Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia
adalah moscrus, yaitu makhlik yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup
bermasyarakat.
·
Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui
bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut
homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius
(makhluk yang beragama).
3.
Kesimpulan
Pendidik
adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus
pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau
kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi
atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Seorang
pendidik mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang
pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa ”tugas pendidik adalah
menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk
Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan
peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan
fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
4.
Daftar
Pustaka
·
Ahmad
Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), h. 74-75.
·
Suryosubrata
B., Beberapa Aspek Dasar
Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.26
( “ Dibuat Oleh Lisda
Agustia_0901055117_ dan Mushaffaini_0901055131 “ )