Minggu, 13 Januari 2013

* Konsep Dasar Pendidikan Muhammadiyah *




“ Konsep Dasar Pendidikan Muhammadiyah “


v   Latar Belakang Pemikiran
Lahirnya pemikiran modern di awal abad kedua puluh tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik dan keagamaan yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. Pemikiran-pemikiran yang dicetuskan mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan para tokoh dan pemikir membaca dan memahami situasi yang ada. Pemikiran Muhammadiyah pun kelihatannya lahir dari tuntutan situasi, dan Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah tokoh pertama yang mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan meletakkan dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah. Dengan demikian mengkaji latar belakang pemikiran Muhammadiyah akan melibatkan tokoh tersebut, terutama tentang sosok pribadinya dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.
Ia adalah putra ketiga Kiai Haji Abu Bakar, salah seorang khatib di Mesjid Kesultanan Yogyakarta. Dilahirkan pada tahun 1259 H / 1869 M di daerah Kauman, salah satu di antara dua daerah lainnya, karangkajen  dan Kotagede, yang dikatakan sebagai daerah yang mempunyai jiwa keislaman yang kuat hingga saat ini.
Pendidikan Dahlan tampaknya mengikuti pola pendidikan  tradisional yang diawali dengan mempelajari Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari  kitab-kitab fikih, nahwu, tafsir dan sebagainya di lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di sekitar Yogyakarta. Pendidikan yang demikian memberikan kepadanya pengetahuan di bidang agama, sedangkan ilmu pengetahuan lainnya, kecuali ilmu falak, kelihatannya tidak dimilikinya.
Pada tahun 1890 M ia mengerjakan haji ke Mekkah. Di samping itu ia pun melanjutkan pelajarannya di kota suci itu selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan. Kunjungan pertama tahun 1890, sedangkan kunjungannya yang kedua tahun 1903 M. Di kota itu ia belajar agama antara lain pada Syekh Ahmad Khatib  salah seorang ulama penganut Mazhab Syafi’I dan penentang paham pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Abduh. Tidak jelas mengapa ia menentang paham tersebut mungkin karena paham “bebas mazhab” yang dibawa oleh Muhammad Abduh yang sangat bertentangan dengan paham yang dianutnya. Barangkali Ahmad Dahlan mengetahui tentang  paham  pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Abduh ketika ia berada di kota suci itu, dan setelah kembali ke Indonesia pengetahuan tersebut diperdalamnya melalui buku-buku dan majalah. Kelihatnnya ia tidak hanya mengetahui pemikiran Muhammad Abduh, tetapi juga pemikiran Ibn Taimiyah (1263-1328) dan Ibn al-Qayyim al-Jazu (1292-1350 M.), dan kitab-kitab para pemikir di atas ditemukan di antara koleksi kitab-kitab yang dimilikinya. Ahmad Dahlan di samping seorang guru juga aktif sebagai pendakwah. Kehidupannya sebagai pedagang batik tidak hanya dipergunakannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk berdakwah dan menjalin hubungan dengan para ulama dan pemimpin agama di kota yang dikunjunginya.
Kegiatannya dalam organisasi telah dimulainya sebelum ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Banyak organisasi yang dimasukinya, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat keagamaan. Pengalaman yang diperolehnya dalam organisasi tersebut tampaknya membawanya berhasil memimpin dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta.
Dari aktifitas yang demikian dapat dipahami bahwa Dahlan memiliki pergaulan yang luas. Ia bergaul tidak hanya dengan para khatib yang seprofesi dengannya di Masjid Kesultanan Yogya, tetapi juga dengan para pemimpin organisasi, bahkan dengan pastor dan pendeta Katolik, ia berdiskusi dan bertukar pikiran. Corak pemikiran yang dianutnya, baik dalam bidang teologi ataupun lainnya, tidak diketahui dengan pasti karena ia tidak meninggalkan tulisan yang menggambarkan pemikirannya. Ada yang mengatakan ia menganut paham Ahl al-Sunnah Wal  al-Jama’ah yang mengacu kepada paham salaf.
Langkah awalnya untuk mengadakan pembaharuan adalah ketika ia memperbaiki arah kiblat di Masjid Kesultanan Yogya. Usaha tersebut mendapat tantangan bukan hanya dari kiai-kiai tua yang konservatif, tetapi juga dari penguasa, meskipun pada lahirnya Sultan bersikap netral dalam peristiwa tersebut. tantangan ini barangkali dapat dianggap sebagai salah satu kegagalan Dahlan dalam merealisir cita-citanya dalam lingkungan istana. Agaknya itulah sebabnya mengapa ia lebih banyak melakukan kegiatannya di dalm masyarakat dan dalam dunia pendidikan daripada di dalam keraton yang kaya dengan tradisi dan berbagai kepercayaan yang sinkretis.
Di luar Keraton ia berusaha memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantuni fakir miskin, anak yatim, tolong-menolong, kebersihan dan sebagainya. Kepada murid-muridnya ia menanamkan sifat tersebut dengan mempraktekannya secara langsung, sehingga murid-murid dapat melihat dan menghayati nilai-nilai positif yang terkandung dalam agama.
Pada tahun 1912 ia mendirikan organisasi Muhammadiyah yang  mungkin menurutnya dengan itu kekuatan akan lebih dapat diorganisir, di samping sesuai dengan situasi, lahirnya berbagai organisasi yang bersifat politik dan keagamaan. Usaha Dahlan yang demikian mendapat sokongan dari bekas murid-muridnya dan dari merekalah ia mendapat dukungan bagi organisasinya yang baru itu. Alfian mencatat sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah, di antaranya adalah Haji Abdoellah Sirat dan Raden Ketib Tjendana Haji Ahmad.
Sebagai salah satu organisasi yang berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang paling esensi adalah untuk menyebarkan agama Islam baik melalui pendidikan maupun kegiatan sosial lainnya. Selain itu meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan perbuatan yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai bid’ah.  Di samping itu organisasi ini memunculkan praktek-praktek ibadah yang hampir-hampir belum pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat, seperti Shalat Hari Raya di tanah lapang, mengkoordinir pembagian zakat dan sebagainya. Kegiatan sosial lainnya kelihatannya banyak meniru kegiatan zending Kristen, dan berhasil menghambat laju perkembangan Zending tersebut pada daerah-daerah tertentu. Kegiatan yang demikian sempat mendatangkan kecemasan pemerintah kolonial, para missionaris khususnya, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Bekker dalam majalah Macedonier pada tahun 1930. Ia mengatakan :
Sesudah dilihat tahun maka ternyata pada golongan zending bahwa Muhammadiyah itu perkumpulan yang berasas Islam. Dengan meniru caranya zending bekerja maka Muhammadiyah berniat menyiarkan Islam di Jawa. Zending mendirikan sekolah ditiru juga, begitu juga rumah miskin dan rumah-rumah sakitnya, tetapi dasar Islam. Sudah barang tentu ini membikin undurnya zending,karena anak murid mestinya diterima di Zending terpaksa ditarik oleh Muhammadiyah, terlebih-lebih di Vorslanden, hal ini sangat dirasai oleh golongan zending.
Dengan kegiatan-kegiatan yang demikianlah  tampaknya yang diletakkan oleh Dahlan dan selanjutnya dikembangkan oleh para penerusnya dengan membentuk majelis-majelis tertentu dalam lingkungan Muhammadiyah.
Dari usaha dan kegiatan yang dilakukan Dahlan sepanjang hidupnya dapat diketahui, bahwa ia adalah tokoh yang kaya dengan cita-cita dan kemauan untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan sikap mereka terhadap agama, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran sosial dan akidah. Ia lebih banyak melakukan kerja nyata untuk mewujudkan cita-citanya dari pada menulis buah pikirannya dalam buku-buku ataupun dalam bentuk tulisan lainnya. Dari itulah Solichin Salam menyebutnya sebagai manusia amaliat yang pikiran-pikirannya terbaca dalam aktifitas yang dilakukannya.
Dari riwayat hidupnya dapat pula diketahui bahwa ia tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan  tidak pernah  melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya. Ia bukan intelektual yang mendapat pendidikan Barat, tetapi seorang kiai yang alim dan berfikir secara modern dan memandang jauh ke depan. Namun demikian ia dapat menempatkan dirinya di antara mereka yang tidak sependidikan dengannya, baik dalam organisasi Budi Utomo, maupun Sarekat Islam. Agaknya yang demikian disebabkan oleh kepribadian dan pandangannya yang luas yang tidak menggambarkan profil umum dari kiai di masanya. Barangkali sifat seperti yang ditunjukkannya itulah yang dimaksudkannya dengan “Ulama’ yang progresif” seperti yang diharapkannya tumbuh dari murid-muridnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah telah diletakkan Dahlan sebelum Ia wafat, meskipun belum cukup keseluruhannya. Tampaknya lahirnya pemikiran yang demikian dilatar belakangi antara lain oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern.
a.              Faktor Intern.
Faktor  intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan sistem pendidikan Islam. Sikap beragama umat Islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional. Syirik, taklid dan bid’ah masih menyelubungi kehidupan umat Islam, terutama dalam lingkungan keraton, di mana kebudayaan Hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad kedua puluh itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu tasawuf/tarekat. dan Mazhab fiqih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sufi memegang peranan yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau  daerah-daerah hampir seluruh nusantara ini.
Dalam suasana demikian Islam tidak hanya menjinakkan sasarannya, tetapi juga harus menjinakkan dirinya. Dari penjinakan yang demikian lahirlah Islam dengan warnanya yang tersendiri, yang oleh Hamka disebut sebagai Islam yang memuja kubur, wali, dan sebagainya. Corak Islam yang demikianlah kelihatannya yang disebut dengan “kejawen” yang merupakan sinkretisasi kebudayaan lama dengan ajaran Islam.
Di daerah pedalaman, di mana kebudayaan Hindu telah mapan kejawen mendapat tempat yang subur. Yogyakarta, tempat lahirnya Muhammadiyah, beralih menjadi daerah kejawen, sedangkan sebelumnya, seperti kata Geertz, merupakan pusat serta klimaks kultur Hindu-Jawa. Dari satu sisi domestikasi yang dilakukan para wali mempunyai nilai yang positif. Islam dapat tersebar jauh menerobos pusat-pusat kebudayaan Hindu di daerah pedalaman. Tetapi dari  sisi lain, seperti kata Alfian, kemurnian Islam semakin jauh, tercemar oleh tradisi-tradisi lama serta kepercayaan yang telah lebih dulu tertanam.  dalam beberapa rupa upacara yang diadakan di keraton misalnya, campuran Hindu-Islam jelas terlihat. Perayaan Grebeg, hari kelahiran sultan, kepercayaan pada kekuatan magis yang dimiliki oleh benda-benda keraton, semuanya menunjukkan sisa-sisa  kepercayaan kepada keramat yang dimiliki oleh  orang-orang suci, dukun dan sebagainya, menjadi bagian yang terpisahkan dari kehidupan umat Islam di awal abad keduapuluh.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah, khurafat dan taklid yang berkembang pada awal abad keduapuluh mempunyai akar yang jauh pada abad-abad sebelumnya. Islam dengan warna-warna yang demikianlah yang ada di Indonesia ketika Muhammadiyah lahir, dan menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya pemikiran-pemikiran Muhammadiyah.

b.             Faktor Ekstern.
Faktor  lain yang  melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah faktor yang bersifat ekstern yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda. Faktor tersebut antara lain tampak dalam sisitem pendidikan kolonial serta usaha ke arah Westernisasi dan kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumiputra, ataupun yang diserahkan kepada misi dan zending kristen dengan bantuan finansial dari pemerintah Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad keduapuluh telah menyebar di beberapa  kota, sejak dari pendidikan dasar sampai ke tingkat atas, yang terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Dengan adanya lembaga pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan di awal abad kedua puluh, yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya. Pendidikan kolonial melarang memasukkan pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial. dan dalam arti ini orang menilai pendidikan kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, di samping sebagai penyebar kebudayaan Barat. Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga yang berkebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah satu sisi dari politik Etis  yang disebut juga dengan politik asosiasi, yang pada hakikatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intelektual yang bisanya memuja Barat dan menyudutkan tradisi nenek moyangnya serta kurang menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih diperkenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama, konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang dimaksud oleh Yunus Salam sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam di awal abad ke 20 itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami betapa kompleksnya masalah yang dihadapi umat Islam di awal abad keduapuluh itu. Masalah agama, sosial dan politik saling menyatu dan saling mempengaruhi. Agaknya inilah ciri khas krisis umat Islam di abad itu. Dengan krisis yang demikian  Muhammadiyah melihat perlunya menyelematkan umat Islam, tidak hanya dengan mengembalikan mereka ke pangkalan, ke ajaran Islam yang murni, tetapi terutama mengikatkan kembali jiwa agama kepada para pemeluknya yang tampaknya kian lama kian mencair, di samping menghadang kegiatan politik penjajah belanda  yang semakin mengancam kekuatan umat Islam. Bagi Muhammadiyah sarana yang paling tepat untuk menyatukan kekuatan adalah organisasi yaitu melalui Muhammadiyah.dan dalam perkembangan   selanjutnya     melahirkan      rumusan-rumusan serta konsep-konsep dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya pendidikan.

v   Konsep Pendidikan Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan)
a.              Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
"  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"
Tujuan Pendidikan yang digagas KH Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai "ulama-ulama intelek" atau "intelek ulama", yaitu sorang Muslim yang memiliki keteguhan iman dan Ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Adapun tujuan pendidikan Muhammadiyah mengacu pada tujuan Muhammadiyah yaitu: (I)  Pada waktu pertama kali berdiri tujuannya adalah Menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera didalam residenan Yogyakarta menunjukan hal Agama Islamkepada anggotanya, (II)   Setelah Muhammadiyah berdiri dan menyebar keluar Yogyakarta  menjadi memajukan dan menggembirakan pengajaran dan memajukan Agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Tujuan pendidikan yang demikian juga tercermin dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, terutama komponen bahan pelajaran, yang merupakan kompromi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat.
Pada tahun 1977 dirumuskan tujuan pendidikan Muhammadiyah secara umum berbunyi: “ (I) terwujudnya manusia Muslim yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara”. Beramal menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (ii) Memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan umtuk pembangunan dan masyarakat negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dengan demikian pendidikan perlu  menentukan tujuan yang ingin dicapai, sehingga mudah diarahkan dan dievaluasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dari tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan formal Muhammadiyah adalah:
ü   Menegakan, berarti membuat agar tegak dan tidak tergoyahkan itu dengan memegang teguh, mempertahankan, membela serta memperjuangkan ajaran Islam.
ü   Menjungjung tinggi berarti membawa di atas segala-galanya, yaitu dengan cara anak didik supaya mengamalkan mengindahkan serta melaksanakan Ajaran Agama Islam.
ü   Agama Islam yaitu: Agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Segenap isi Ajaran Agama yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berupa Al Qur'an  Hadits. Maka siswa Muhammadiyah bisa memegang teguh Agama Islam sebagai Agama Tauhid yang dibawa oleh  Rasul dan sudah sempurna sehingga dapat terbentuk insan-insan kamil.

b.              Pendidik
Pendidik Secara etimologi berarti orang yang memberikan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan. Kata tersebut seperti “teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.
Sedangkan secara Secara terminologi adalah: Ahmad D Marimba mengemukakan bahwa "Pendidik adalah sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik" adapun menurut Muri yusuf yaitu "Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan".
Pengertian  tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Pendidik menurut Muhammadiyah yaitu, Pendidik/guru adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab atas perkembangan anak didik dan mempunyai tanggungjawab menunaikan amanat Vertikal (Alloh) dan horizontal (kemanusiaan).
Dalam mendidik tidak sembarang orang bisa menjadi seorang pendidik dan untuk menjadi seorang pendidik ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut Muhammadiyah secara umum syarat menjadi seorang pendidik yaitu harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa, harus memiliki akhlak teladan dalam kelasnya bahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Dari beberapa syarat terebut harus dilandasi oleh sikap mental terutama akhlak teladan yaitu, siap menjalankan perintah Allah SWT, jiwa pengabdian, ikhlas beramal, serta keyakinan dan kelurusan/kebenaran Agama Islam.
Dengan demikian untuk menjadi seorang pendidik menurut Muhammadiyah perlu memiliki persyaratan-persyaratan khusus, diantaranya:
ü   Harus seorang Muslim artinya beragama Islam yang beriman dan bertaqwa.
ü   Anggota / guru simpatikan Muhammadiyah atau aisyiah.
ü   Mempunyai keteladanan yang mulia baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari.
ü   Ikhlas.
ü   Bertanggung jawab.
ü   Mempunyai kemampuan  istimewa dalam mendidik baik dalam menguasai materi pelajaran maupun dalam program pelajaran seperti metode, pengelolaan kelas, mengerti dan faham administrasi sekolah maupun dalam memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian.

c.              Peserta Didik
Peserta didik atau disebut juga Mutarabbi, hakikatnya adalah orang yang memerlukan bimbingan. Secara kodrati, seorang anak memerlukan Pendidikan dan bimbingan dari orang dewasa, paling tidak, karena ada dua aspek, yaitu aspek pedagogis dan sosiologis.
Menurut Muhammadiyah peserta didik merupakan bahan mentah atau objek dalam proses transformasi pendidikan. Ia mempunyai keragaman yang berbeda dan sebagai makhluk Allah di muka bumi ini sebagai khalifah yang perlu dididik dan dibina serta dikembangkan agar bisa mengelolanya dan kembali kepada Khaliknya.
Dengan demikian maka anak didik merupakan suatu objek yang akan menerima transformasi pendidikan, dan sebagai objek yang akan menerima transformasi harus mempunyai syarat sebagai pelajar yang baik yaitu;
ü   Mempunyai akhlak yang baik dan mulia.
ü   Mempunyai sikap yang sopan dan santun baik kepada sesama maupun kepada yang lebih tua dan muda.
ü   Harus bisa meneruskan perjuangan.
ü   Harus dapat dipercaya dan cinta damai.
ü   Dan bersedia mentaati peraturan yang ada di Muhammadiyah.

d.             Kurikulum
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 19 kurikulum adalah sebagai berikut:
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu” (Arifin, 2003:36).
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam suatu sistem Pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengjaran pada semua jenis dan tingkat Pendidikan (Ramayulis 2006:149).
Kurikulum yang digunakan di Muhammadiyah merupakan kurikulum gabungan antara kurikulum pelajaran pesantren dengan kurikulum modern dengan mempelajari ilmu-ilmu dalam bidang umum. Adapun materi yang disajikan di Pendidikan  Muhammadiyah harus menyentuh berbagai aspek yaitu:
ü   Aqidah akhlak
ü   Hablumminallah.
ü   Hablumminannas.
ü   Bahasa dan Tarikh
Dengan demikian maka materi yang disampaikan pada pendidikan Muhammadiyah adalah Pendidikan Agama yang mencakup mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, piqh, tarikh, bahasa, al-quran dan kemuhammadiyahan. Selain pendidikan Agama di Muhammadiyah juga terdapat pendidikan umum yang meliputi IPA, IPS Ilmu teknik, olah raga, matematika dll.
Bahan pelajaran di atas diberikan secara  berencana. Artinya bahan pelajaran tertentu diberikan di kelas tertentu dengan waktu atau lama belajar di setiap kelas yang telah ditetapkan. Di sekolah/pendidikan Muhammadiyah juga telah diterapkan sistem ulangan, absensi Murid dan kenaikan kelas, dan kecakapan murid dinilai melalui ulangan yang diberikan.

e.              Metode
Metode mengajar adalah cara atau tekhnik untuk mencapai tujuan pelajaran, Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh pendidik dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.    
Kalau dalam sistem pendidikan Islam tradisional dikenal metode sorogan dan weton, maka di lembaga pendidikan klasikal seperti yang dipraktekkan oleh  Muhammadiyah, metode pengajaran yang demikian tidak diterapkan lagi. Di muhammadiyah murid tidak lagi hanya menerima dengan kritis dan dengan perbandingan, terutama bagi kitab fikih yang mengajarkan pendapat Mujtahid tertentu.
Adapun Metode yang digunakan di Muhammadiyah yaitu Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, metode kerja kelompok, demonstrasi, latihan, sosiodrama, metode karya wisata/belajar di alam.

f.              Lingkungan
Lingkungan pendidikan di Muhammadiyah adalah segala sesuatu yang ada di sekitar kita baik berupa benda, peristiwa maupun kondisi masyarakat, terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada anak didik yaitu proses pendidikan berlangsung dan dimana lingkungan anak didik bergaul sehari-hari. Lingkungan yang ada di pendidikan muhammadiyah yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, keagamaan dan lingkungan juga besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak didik karena perkembangan jiwa anak didik itu banyak dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang ada dan lingkungan juga bisa berpengaruh positif dan negatif terhadap anak didik tergantung bagaimana orang tua dan guru mengawasi dan membimbingnya.


Dibuat Oleh Mushaffaini (0901055131) dan Lisda Agustia (0901055117)