Perkembangan
Pendidikan Muhammadiyah
A. Sejarah
Pendidikan Muhammadiyah
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam,
berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag
dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan
bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang
berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan
Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah
didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah,
lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar
sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama
adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam
pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh
pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan
pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan
secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid
secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan
dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan
maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk
bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran
dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut
metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya
bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap
penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya
mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan
memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya
dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan
Bila dilihat dari cara pengelolaan
dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya
jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan
terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah
agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif
srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan
berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem
pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan
Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem
pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu,
aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu
mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia
yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama,
dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat
(perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan
aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata
pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah
sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan
ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau
pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan
gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah
ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba
untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya
diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.
B. Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah
Cita-cita
pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang
mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan
dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan
atau psikologi perkembangan.
Dalam
rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran
murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun
1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual
melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat
al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu
menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong
fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti
dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem
pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.
Anehnya,
yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan
cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima
inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya,
yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan
perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap
api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik
yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali
menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di
Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem
pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan,
sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya
madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan
pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan
ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan.
Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore
hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Satu
dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga
Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK)
hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan
kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini
hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul
Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang
dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ
pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu
akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode
pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Apabila
Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka
harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis
pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi
lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan
kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi
filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan
nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena
setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada
pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan
bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi
manusia-manusia yang unggul. . Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan
ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Filsafat yang dianut dan
diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai
konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini
dan dianutnya
Jika
menengok sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu
sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan
kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu
malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan
melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan
kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi
umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya,
evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung
tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Perhatian
dan komitmen Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tidak pernah surut, hal ini
nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan konsisten dalam
setiap muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah) senantiasa
ada agenda pembahasan dan penetapan program lima tahunan bidang pendidikan,
sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dalam lima belas tahun
terakhir (tiga kali muktamar) dapat dilihat bahwa Muhammadiyah senantiasa
memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program pendidikan,
keputusan-keputusan dalam muktamar sebagaimana dapat kita lihat sebagai
berikut:
Rincian program bidang pendidikan keputusan Muktamar 43
Banda Aceh;
1.
Peningkatan
kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah dilakukan dengan empat tema
pokok, yaitu pengembangan kualitas, pengembangan keunggulan, pengembangan
kekhasan program, dan pengembangan kelembagaan yang mandiri. Empat tema pokok
ini diimplementasikan dalam proses belajar mengajar agar secara terpadu
merupakan aktivitas alih pengetahuan, alih metoda dan alih nilai.
2.
Menata
kembali kurikulum Pendidikan dasar dan Menengah Muhammadiyah pada semua jenjang
dan jenis sekolah Muhammadiyah yang meliputi pendidikan al-Islam
Kemuhammadiyahan dan sebagai kekhasan sekolah Muhammadiyah, spesifikasi
setiap wilayah sesuai kebutuhan dan kondisi setempat, pendidikan budaya dan
seni yang bernafas Islam.
3.
Menyusun
peta Nasional Pendidikan Muhammadiyah yang memuat spesifikasi tiap
wilayah/daerah, agar didapatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
4.
Merespon
secara positif pengembangan “sekolah unggulan” dengan tetap mengembangkan
kekhasan pendidikan Muhammadiyah, terutama dalam pengembangan kurikulum dan
proses belajar mengajar, sehingga misi pendidikan Muhammadiyah tetap
terlaksana.
5.
Dalam
pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), penyelenggaraan pendidikan
diorientasikan kepada peningkatan kompetensi lulusan yang elastis dan
antisipatif terhadap tuntutan dan kebutuhan masa depan, yang meliputi
kompetensi akademik, kompetensi professional, kompetensi menghadapi perubahan,
kompetensi kecendekiaan dan kompetensi iman dan taqwa.
6.
Mengarahkan
program PTM untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan masa depan.
7.
Qaidah
pendidikan dasar dan menengah serta qaidah PTM perlu disempurnakan,
sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat.
8.
Koordinasi
dan pengawasan pelaksanaan qaidah pendidikan dasar dan menengah serta
perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
9.
Meningkatkan
dan memantapkan kerjasama antara Majlis Dikdasmen dan Majlis Dikti.
10.
Mengupayakan
beasiswa Muhammadiyah bagi para siswa dan atau mahasiswa yang berprestasi.
11.
Melalui
amal usaha pendidikan meningkatkan kualitas kader-kader ulama yang tersebar
diseluruh pelosok Indonesia.
12.
Mengembangkan
berbagai lembaga pendidikan khusus seperti pesantren dan madrasah
diniyah, taman pendidikan al-Qur’an, serta taman kanak-kanak al-Qur’an.
Penanganan pondok pesantren dan madrasah menjadi tanggungjawab dan wewenang
dari Majlis Dikdasmen.
1.
Rencana
Strategis Pendidikan Muhammadiyah
Membangun kekuatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan
pengembangan sumber daya insani, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan
eksplorasi aspek-aspek kehidupan yang bercirikan Islam, sehingga mampu menjadi
alternatif kemajuan dan keunggulan di tingkat nasional atau regional.
2.
Garis
Besar program pendidikan muhammadiyah:
a.
Membangun
system informasi kekuatan Sumber Daya Insani (SDI) Muhammadiyah dalam bidang
Iptek.
b.
Menyusun
road map pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Muhammadiyah
c.
Memobilisasi
kekuatan Muhammadiyah dalam bidang Iptek melalui pusat-pusat keunggulan yang
berbasis lembaga pendidikan Muhammadiyah.
d.
Membangun
cetak biru (blue print) pendidikan Muhammadiyah untuk menjawab
ketertinggalan pendidikan Muhammadiyah selama ini, dan sebagai langkah
antisipasi bagi masa depan pendidikan yang lebih kompleks.
e.
Menegaskan
posisi dan implementasi nilai Islam, Kemuhammadiyahan dan kaderisasi dalam
seluruh system pendidikan Muhammadiyah.
f.
Mempercepat
proses pengembangan institusi perndidikan Muhammdiyah sebagai pusat keunggulan
dengan menyusun standar mutu.
g.
Menjadikan
mutu sebagai tujuan utama bagi seluruh usaha pengembangan amal usaha pendidikan
Muhammadiyah.
h.
Mengintegrasikan
pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah dengan program pengembangan
masyarakat.
i.
Menyusun
system pendidikan Muhammadiyah yang berbasis al-Qur’an dan sunnah.
j.
Mengembangkan
program-program penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi dan berbagai aspek kehidupan yang penting dan
strategis sebagai basis bagi pengambilan kebijakan dan pengembangan kemajuan
persyarikatan.
k.
Mengembangkan
jaringan dan kerjasama lembaga-lembaga serta pusat-pusat penelitian dan
pengembangan di lingkungan persyarikatan.
Keputusan setiap Muktamar berkenaan
dengan program pendidikan bukan hanya sekedar daftar keinginan, akan tetapi
program-program tersebut merupakan bentuk komitmen persyarikan Muhammadiyah
dalam dunia pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
keputusan-keputusan muktamar berkenaan dengan bidang pendidikan tersebut
menggambarkan betapa Muhammadiyah menjadikan lembaga pendidikan sebagai pilar
yang strategis dalam mendukung tujuan Muhammadiyah. Program-program tersebut juga
mencerminkan dinamika pendidikan yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah.
C. Manajemen Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi yang
tumbuh dan berkembang dari inisiatif masyarakat secara perorangan yang kemudian
menjadi inisiatif kelompok. Karena kesepahaman dengan visi dan misi serta
tujuan persyarikatan itu maka kelompok-kelompok masyarakat tersebut dapat
mendirikan sebuah ranting Muhammadiyah dengan pengesahan pimpinan di atasnya.
Pendirian ranting Muhammadiyah tersebut biasanya disertai dengan amal usaha
sebagai bentuk nyata aktivitasnya, tidak sedikit amal usaha itu merupakan
sebuah sekolah.
Dalam persyarikatan Muhammadiyah,
lembaga pendidikan dapat didirikan oleh Pimpinan Ranting, Pimpinan Cabang,
Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Pusat. Manajemen yang
diterapkan oleh Muhammadiyah sangat unik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam
mengelola lembaga pendidikan yang ada di Muhammadiyah melakukan pengawasan dan
pembinaan secara umum. Untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan
tersebut Muhammadiyah membentuk Majlis pendidikan dasar dan menengah untuk
pengawasan dan pembinaan tingkat SD/MI,SMP/Tsanawiyah, SMA/SMK/Aliyah.
Sedangkan untuk pengawasan dan pembinaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah
menyerahkan kewenangannya kepadaMajlis Pendidikan Tinggi. Dalam hal-hal yang
bersifat teknis, Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya kepada tingkat pimpinan
yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut.
Dengan kebijakan seperti ini maka
manajemen pendidikan di Muhammadiyah menjadi sangat unik, terjadi
keanekaragaman kebijakan pada setiap pimpinan yang menguasai lembaga pendidikan
tersebut, seperti terjadinya keanekaragaman dalam rekrutmen guru, dosen,
karyawan. Keanekaragaman dalam penggajian dan lain sebagainya. Gaji (honor) karyawan,
guru dan dosen pada satu sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah berbeda
dengan gaji karyawan, guru dan dosen pada sekolah atau perguruan tinggi
Muhammadiyah yang lain, hal ini merupakan suatu hal yang biasa dalam lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Sehingga dalam kenyataan saat ini, ada lembaga-lembaga
pendidikan Muhammadiyah yang sangat maju tetapi di tempat lain ada lembaga
pendidikan Muhammadiyah yang sangat terpuruk.
Untuk masa yang akan datang, penulis
berpendapat bahwa Muhammadiyah harus segera meninjau kebijakan seperti ini,
Persyarikatan Muhammadiyah hendaknya membuat rambu-rambu yang lebih rinci,
sehingga keberadaan lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa eksis secara
merata, tidak ada lembaga pendidikan yang sangat terpuruk, tetapi semuanya bisa
maju secara bersama-sama. Status guru, dosen karyawan di berbagai lembaga
pendidikan Muhammadiyah sama, sehingga out put siswa atau mahasiswa dari
lembaga pendidikan Muhammadiyah memiliki kemampuan yang relative sama.
1. Perkembangan Perguruan Muhammadiyah
Sekolah Muhammadiyah menurut Malik
bisa untuk terus berkembang dengan tetap berbasis pada lingkungan sosial
budaya, demografisnya dan geografisnya, namun semua dalam kerangka dan
paradigma Muhammadiyah.
Sementara itu menyoroti perkembangan sekolah Muhammadiyah,
Malik mengingatkan bahwa ke depan pendidikan harus berwawasa pada keunggulan,
kompetensi dan kuatnya jaringan. “Ini kalau kita ingin melahirkan generasi
unggulan yang kompetitif, dan kalau kita ingin merebut masa depan”
tegasnya. “Bukankah kita punya ajaran kompetitif yaitu seboyan fastabiqul
Khairat ? bahkan tidak hanya itu saja” lanjutnya
Menurut Malik, siapa saja yang mendalami filosofi
Muhammadiyah, akan sukses membesarkan amal usaha pendidikan Muhammadiyah.” Dan
kalau sudah tua ya berhenti, doronglah generasi penerus” pesannya. “ Saya
melihat generasi penerus kita cemerlang. Antarkan mereka dengan memperdalam
cita-cita Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah besar dan jauh, jangan dikecilkan “.
“Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada
habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat dari
berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang sangat
penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya menggarap bidang
dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis yang membumikan ajaran
Islam dalam realitas sosial yang nyata” (Drs. Haedar nasir, Msi).
Pernyataan haedar nasir diatas yang
juga salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan
jempol belaka. Karena dari pernyataan “Rumah besar yang dapat diteliti dari
berbagai sudut” memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana
tidak bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah
sebagai “cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan
merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah
melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di seluruh
penjuru tanah air.
2. Realita sistem pendidikan
muhammadiyah jelang satu abad
Sejarah awal berdirinya lembaga
pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan kepada kita bahwa pada
awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan
dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah
untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan
pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu
pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan
seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid
dianggap berada dalam kebodohan absolut (basolute ignorance). Menyadari dua
sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka
KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan
sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai
landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan
status sosial maupun fasilitas yamg ada.
Tetapi apa yang dapat kita lihat
saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga
pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini
ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar
sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang
masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia
yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof.
Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi , Menuju
Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar pada sebuah lembaga
pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang
dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua
hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap”. Di tambahkannya lagi
bahwa di Indonesia belajar ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah
untuk mengejar status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan
profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan
khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan status
kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut sampai
dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa melihat sudah sejauh mana
manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi di dunia luar. Maka mahfumlah
kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan
khususnya kader tajdid dan tanzih.
Belum lagi kita menjumpai bahwa di
beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan
wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi
empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang
semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya
menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya
menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik
pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi.
Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan
absolut. Meminjam istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak
digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of
Education”(konsep pendidikan Bank)”, yang akan mematikan potensi kreatifitas
berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan
(Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak
mereka.
Maka pertanyaan “apa sebenarnya
sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat
terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih
condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem
konservatif. Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem
konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem
pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi
Kosmetik” (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru,
memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio
murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem
pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid
berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid
tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan
ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan.
Jelas sudah terjawab, mengapa kader
tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena
sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk
mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa
Muhammadiyah seperti “Gajah Bengkak” tidak salah diberikan, karena dengan
fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak
mapu untuk melakukan gerak dinamis.
Umi
Patiah (0901055216)
Henny Dwi Mulyaningsih (0901055242)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar