Minggu, 13 Januari 2013

Perkembangan pendidikan muhammadiyah




 
Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah


A.    Sejarah  Pendidikan Muhammadiyah
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif,  membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat (perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.

B.     Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala  al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik.  Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Apabila Muhammadiyah benar-benar  mau membangun sekolah/universitas unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul. . Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya
Jika menengok sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Perhatian dan komitmen Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tidak pernah surut, hal ini nampak dari keputusan-keputusan persyarikatan yang dengan konsisten dalam setiap muktamar (sebagai forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah) senantiasa ada agenda pembahasan dan penetapan program lima tahunan bidang pendidikan, sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dalam lima belas tahun terakhir (tiga kali muktamar) dapat dilihat bahwa  Muhammadiyah senantiasa memiliki agenda yang jelas berkenaan dengan program pendidikan, keputusan-keputusan dalam muktamar sebagaimana dapat kita lihat sebagai berikut:
Rincian program bidang pendidikan keputusan Muktamar 43 Banda  Aceh;
1.      Peningkatan kualitas Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah dilakukan dengan empat tema pokok, yaitu pengembangan kualitas, pengembangan keunggulan, pengembangan kekhasan program, dan pengembangan kelembagaan yang mandiri. Empat tema pokok ini diimplementasikan dalam proses belajar mengajar agar secara terpadu merupakan aktivitas alih pengetahuan, alih metoda dan alih nilai.
2.      Menata kembali kurikulum Pendidikan dasar dan Menengah Muhammadiyah pada semua jenjang dan jenis sekolah Muhammadiyah yang meliputi pendidikan al-Islam Kemuhammadiyahan  dan sebagai kekhasan sekolah Muhammadiyah, spesifikasi setiap wilayah sesuai kebutuhan dan kondisi setempat, pendidikan budaya dan seni yang bernafas Islam.
3.      Menyusun peta Nasional Pendidikan Muhammadiyah  yang memuat spesifikasi tiap wilayah/daerah, agar didapatkan relevansi pendidikan  dengan kebutuhan masyarakat setempat.
4.      Merespon secara positif pengembangan “sekolah unggulan” dengan tetap mengembangkan kekhasan pendidikan Muhammadiyah, terutama dalam pengembangan kurikulum dan proses  belajar mengajar, sehingga misi pendidikan Muhammadiyah tetap terlaksana.
5.      Dalam pengembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), penyelenggaraan pendidikan diorientasikan kepada peningkatan kompetensi lulusan yang elastis dan antisipatif terhadap tuntutan dan kebutuhan masa depan, yang meliputi kompetensi akademik, kompetensi professional, kompetensi menghadapi perubahan, kompetensi kecendekiaan dan kompetensi iman dan taqwa.
6.      Mengarahkan program PTM untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan masa depan.
7.      Qaidah pendidikan dasar dan menengah serta qaidah  PTM perlu disempurnakan, sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat.
8.      Koordinasi dan pengawasan  pelaksanaan qaidah pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi perlu ditingkatkan.
9.      Meningkatkan dan memantapkan kerjasama antara Majlis Dikdasmen dan Majlis Dikti.
10.  Mengupayakan beasiswa Muhammadiyah bagi para siswa dan atau mahasiswa yang berprestasi.
11.  Melalui amal usaha pendidikan meningkatkan kualitas kader-kader ulama yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia.
12.  Mengembangkan berbagai lembaga pendidikan khusus seperti pesantren  dan madrasah diniyah, taman pendidikan al-Qur’an, serta taman kanak-kanak al-Qur’an. Penanganan pondok pesantren dan madrasah menjadi tanggungjawab dan wewenang dari Majlis Dikdasmen.

1.      Rencana Strategis Pendidikan Muhammadiyah
Membangun kekuatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya insani, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan eksplorasi aspek-aspek kehidupan yang bercirikan Islam, sehingga mampu menjadi alternatif kemajuan dan keunggulan di tingkat nasional atau regional.
2.      Garis Besar program pendidikan muhammadiyah:
a.       Membangun system informasi kekuatan Sumber Daya Insani (SDI) Muhammadiyah dalam bidang Iptek.
b.       Menyusun road map pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Muhammadiyah
c.       Memobilisasi kekuatan Muhammadiyah dalam bidang Iptek melalui pusat-pusat keunggulan yang berbasis lembaga pendidikan Muhammadiyah.
d.      Membangun cetak biru (blue print) pendidikan Muhammadiyah untuk menjawab ketertinggalan pendidikan Muhammadiyah selama ini, dan sebagai langkah antisipasi bagi masa depan pendidikan yang lebih kompleks.
e.       Menegaskan posisi dan implementasi nilai Islam, Kemuhammadiyahan dan kaderisasi dalam seluruh system pendidikan Muhammadiyah.
f.       Mempercepat proses pengembangan institusi perndidikan Muhammdiyah sebagai pusat keunggulan dengan menyusun standar mutu.
g.      Menjadikan mutu sebagai tujuan utama bagi seluruh usaha pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah.
h.      Mengintegrasikan pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah dengan program pengembangan masyarakat.
i.        Menyusun system pendidikan Muhammadiyah yang berbasis al-Qur’an dan sunnah.
j.        Mengembangkan program-program penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbagai aspek kehidupan yang penting dan strategis sebagai basis bagi pengambilan kebijakan dan pengembangan kemajuan persyarikatan.
k.      Mengembangkan jaringan dan kerjasama lembaga-lembaga serta pusat-pusat penelitian dan pengembangan di lingkungan persyarikatan.
Keputusan setiap Muktamar berkenaan dengan program pendidikan bukan hanya sekedar daftar keinginan, akan tetapi program-program tersebut merupakan bentuk komitmen persyarikan Muhammadiyah dalam dunia pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, keputusan-keputusan muktamar berkenaan dengan bidang pendidikan tersebut menggambarkan betapa Muhammadiyah menjadikan lembaga pendidikan sebagai pilar yang strategis dalam mendukung tujuan Muhammadiyah. Program-program tersebut juga mencerminkan dinamika pendidikan yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah.

C.  Manajemen Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi yang tumbuh dan berkembang dari inisiatif masyarakat secara perorangan yang kemudian menjadi inisiatif kelompok. Karena kesepahaman dengan visi dan misi serta tujuan persyarikatan itu maka kelompok-kelompok masyarakat tersebut dapat mendirikan sebuah ranting Muhammadiyah dengan pengesahan pimpinan di atasnya. Pendirian ranting Muhammadiyah tersebut biasanya disertai dengan amal usaha sebagai bentuk nyata aktivitasnya, tidak sedikit amal usaha itu merupakan sebuah sekolah.
Dalam persyarikatan Muhammadiyah, lembaga pendidikan dapat didirikan oleh Pimpinan Ranting, Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Pusat. Manajemen yang diterapkan oleh Muhammadiyah sangat unik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam mengelola lembaga pendidikan yang ada di Muhammadiyah melakukan pengawasan dan pembinaan secara umum. Untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan tersebut Muhammadiyah membentuk Majlis pendidikan dasar dan menengah untuk pengawasan dan pembinaan tingkat SD/MI,SMP/Tsanawiyah, SMA/SMK/Aliyah. Sedangkan untuk pengawasan dan pembinaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah menyerahkan kewenangannya kepadaMajlis Pendidikan Tinggi. Dalam hal-hal yang bersifat teknis, Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya kepada tingkat pimpinan yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut.
Dengan kebijakan seperti ini maka manajemen pendidikan di Muhammadiyah menjadi sangat unik, terjadi keanekaragaman kebijakan pada setiap pimpinan yang menguasai lembaga pendidikan tersebut, seperti terjadinya keanekaragaman dalam rekrutmen guru, dosen, karyawan. Keanekaragaman dalam penggajian dan lain sebagainya. Gaji (honor) karyawan, guru dan dosen pada satu sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah berbeda dengan gaji karyawan, guru dan dosen pada sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah yang lain, hal ini merupakan suatu hal yang biasa dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sehingga dalam kenyataan saat ini, ada lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sangat maju tetapi di tempat lain ada lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sangat terpuruk.
Untuk masa yang akan datang, penulis berpendapat bahwa Muhammadiyah harus segera meninjau kebijakan seperti ini, Persyarikatan Muhammadiyah hendaknya membuat rambu-rambu yang lebih rinci, sehingga keberadaan  lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa eksis secara merata, tidak ada lembaga pendidikan yang sangat terpuruk, tetapi semuanya bisa maju secara bersama-sama. Status guru, dosen karyawan di berbagai lembaga pendidikan Muhammadiyah sama, sehingga out put siswa atau mahasiswa dari lembaga pendidikan Muhammadiyah memiliki kemampuan yang relative sama.
1.      Perkembangan Perguruan Muhammadiyah
Sekolah Muhammadiyah menurut Malik bisa untuk terus berkembang dengan tetap berbasis pada lingkungan sosial budaya, demografisnya dan geografisnya,  namun semua dalam kerangka dan paradigma Muhammadiyah.
Sementara itu menyoroti perkembangan sekolah Muhammadiyah, Malik mengingatkan bahwa ke depan pendidikan harus berwawasa pada keunggulan, kompetensi dan kuatnya jaringan. “Ini kalau kita ingin melahirkan generasi unggulan yang kompetitif, dan  kalau kita ingin merebut masa depan” tegasnya. “Bukankah kita punya ajaran kompetitif yaitu seboyan  fastabiqul Khairat ? bahkan tidak hanya itu saja” lanjutnya
Menurut Malik, siapa saja yang mendalami filosofi Muhammadiyah, akan sukses membesarkan amal usaha pendidikan Muhammadiyah.” Dan  kalau sudah tua ya berhenti, doronglah generasi penerus” pesannya. “ Saya melihat generasi penerus kita cemerlang. Antarkan mereka dengan memperdalam cita-cita Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah besar dan jauh, jangan dikecilkan “.
“Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat dari berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang sangat penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya menggarap bidang dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis yang membumikan ajaran Islam dalam realitas sosial yang nyata” (Drs. Haedar nasir, Msi).
Pernyataan haedar nasir diatas yang juga salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Karena dari pernyataan “Rumah besar yang dapat diteliti dari berbagai sudut” memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana tidak bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah sebagai “cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
2.      Realita sistem pendidikan muhammadiyah jelang satu abad
Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan  kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (basolute ignorance). Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status sosial maupun fasilitas yamg ada.
Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi , Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar pada sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap”.  Di tambahkannya lagi bahwa di Indonesia belajar ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah untuk mengejar status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan status kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut sampai dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa melihat sudah sejauh mana manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi di dunia luar. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanzih.
Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi.  Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolut. Meminjam istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of Education”(konsep pendidikan Bank)”, yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan (Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka.
Maka pertanyaan “apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif.  Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik” (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan.
Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah seperti “Gajah Bengkak”  tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak mapu untuk melakukan gerak dinamis.

*      Umi Patiah (0901055216)
*      Henny Dwi Mulyaningsih (0901055242)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar