“ Konsep
Dasar Pendidikan Muhammadiyah “
v Latar Belakang
Pemikiran
Lahirnya
pemikiran modern di awal abad kedua puluh tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik dan keagamaan
yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. Pemikiran-pemikiran yang dicetuskan
mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan para
tokoh dan pemikir membaca dan memahami situasi yang ada. Pemikiran Muhammadiyah
pun kelihatannya lahir dari tuntutan situasi, dan Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah
tokoh pertama yang mencoba untuk memenuhi tuntutan tersebut dengan meletakkan
dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah. Dengan demikian mengkaji latar belakang
pemikiran Muhammadiyah akan melibatkan tokoh tersebut, terutama tentang sosok
pribadinya dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.
Ia adalah putra
ketiga Kiai Haji Abu Bakar, salah seorang khatib di Mesjid Kesultanan
Yogyakarta. Dilahirkan pada tahun 1259 H / 1869 M di daerah Kauman, salah satu
di antara dua daerah lainnya, karangkajen dan Kotagede, yang dikatakan
sebagai daerah yang mempunyai jiwa keislaman yang kuat hingga saat ini.
Pendidikan
Dahlan tampaknya mengikuti pola pendidikan tradisional
yang diawali dengan mempelajari Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab fikih, nahwu, tafsir dan
sebagainya di lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di sekitar Yogyakarta.
Pendidikan yang demikian memberikan kepadanya pengetahuan di bidang agama,
sedangkan ilmu pengetahuan lainnya, kecuali ilmu falak, kelihatannya tidak
dimilikinya.
Pada tahun 1890
M ia mengerjakan haji ke Mekkah. Di samping itu ia pun melanjutkan pelajarannya
di kota suci itu selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan. Kunjungan pertama
tahun 1890, sedangkan kunjungannya yang kedua tahun 1903 M. Di kota itu ia
belajar agama antara lain pada Syekh Ahmad Khatib salah seorang ulama
penganut Mazhab Syafi’I dan penentang paham pembaharuan yang dibawa oleh
Muhammad Abduh. Tidak jelas mengapa ia menentang paham tersebut mungkin karena
paham “bebas mazhab” yang dibawa oleh Muhammad Abduh yang sangat bertentangan
dengan paham yang dianutnya. Barangkali Ahmad Dahlan mengetahui tentang paham pembaharuan
yang dibawa oleh Muhammad Abduh ketika ia berada di kota suci itu, dan setelah
kembali ke Indonesia pengetahuan tersebut diperdalamnya melalui buku-buku dan
majalah. Kelihatnnya ia tidak hanya mengetahui pemikiran Muhammad Abduh, tetapi
juga pemikiran Ibn Taimiyah (1263-1328) dan Ibn al-Qayyim al-Jazu (1292-1350
M.), dan kitab-kitab para pemikir di atas ditemukan di antara koleksi
kitab-kitab yang dimilikinya. Ahmad Dahlan di samping seorang guru juga aktif
sebagai pendakwah. Kehidupannya sebagai pedagang batik tidak hanya
dipergunakannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga
untuk berdakwah dan menjalin hubungan dengan para ulama dan pemimpin agama di
kota yang dikunjunginya.
Kegiatannya
dalam organisasi telah dimulainya sebelum ia mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Banyak organisasi yang dimasukinya, baik yang bersifat nasional
maupun yang bersifat keagamaan. Pengalaman yang diperolehnya dalam organisasi
tersebut tampaknya membawanya berhasil memimpin dan mengembangkan organisasi
Muhammadiyah ke luar daerah Yogyakarta.
Dari aktifitas
yang demikian dapat dipahami bahwa Dahlan memiliki pergaulan yang luas. Ia
bergaul tidak hanya dengan para khatib yang seprofesi dengannya di Masjid
Kesultanan Yogya, tetapi juga dengan para pemimpin organisasi, bahkan dengan
pastor dan pendeta Katolik, ia berdiskusi dan bertukar pikiran. Corak pemikiran
yang dianutnya, baik dalam bidang teologi ataupun lainnya, tidak diketahui
dengan pasti karena ia tidak meninggalkan tulisan yang menggambarkan
pemikirannya. Ada yang mengatakan ia menganut paham Ahl al-Sunnah Wal
al-Jama’ah yang mengacu kepada paham salaf.
Langkah awalnya
untuk mengadakan pembaharuan adalah ketika ia memperbaiki arah kiblat di Masjid
Kesultanan Yogya. Usaha tersebut mendapat tantangan bukan hanya dari kiai-kiai
tua yang konservatif, tetapi juga dari penguasa, meskipun pada lahirnya Sultan
bersikap netral dalam peristiwa tersebut. tantangan ini barangkali dapat
dianggap sebagai salah satu kegagalan Dahlan dalam merealisir cita-citanya
dalam lingkungan istana. Agaknya itulah sebabnya mengapa ia lebih banyak
melakukan kegiatannya di dalm masyarakat dan dalam dunia pendidikan daripada di
dalam keraton yang kaya dengan tradisi dan berbagai kepercayaan yang sinkretis.
Di luar Keraton
ia berusaha memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka
ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantuni fakir
miskin, anak yatim, tolong-menolong, kebersihan dan sebagainya. Kepada
murid-muridnya ia menanamkan sifat tersebut dengan mempraktekannya secara
langsung, sehingga murid-murid dapat melihat dan menghayati nilai-nilai positif
yang terkandung dalam agama.
Pada tahun 1912
ia mendirikan organisasi Muhammadiyah yang mungkin menurutnya dengan itu
kekuatan akan lebih dapat diorganisir, di samping sesuai dengan situasi,
lahirnya berbagai organisasi yang bersifat politik dan keagamaan. Usaha Dahlan
yang demikian mendapat sokongan dari bekas murid-muridnya dan dari merekalah ia
mendapat dukungan bagi organisasinya yang baru itu. Alfian mencatat sembilan
orang tokoh pendiri Muhammadiyah, di antaranya adalah Haji Abdoellah Sirat dan
Raden Ketib Tjendana Haji Ahmad.
Sebagai salah
satu organisasi yang berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang paling esensi
adalah untuk menyebarkan agama Islam baik melalui pendidikan maupun kegiatan
sosial lainnya. Selain itu meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan
perbuatan yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai bid’ah. Di samping itu
organisasi ini memunculkan praktek-praktek ibadah yang hampir-hampir belum
pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat, seperti Shalat Hari Raya di tanah
lapang, mengkoordinir pembagian zakat dan sebagainya. Kegiatan sosial lainnya
kelihatannya banyak meniru kegiatan zending Kristen, dan berhasil menghambat
laju perkembangan Zending tersebut pada daerah-daerah tertentu. Kegiatan yang
demikian sempat mendatangkan kecemasan pemerintah kolonial, para missionaris
khususnya, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Bekker dalam majalah Macedonier
pada tahun 1930. Ia mengatakan :
Sesudah dilihat tahun maka ternyata pada golongan zending bahwa
Muhammadiyah itu perkumpulan yang berasas Islam. Dengan meniru caranya zending
bekerja maka Muhammadiyah berniat menyiarkan Islam di Jawa. Zending mendirikan
sekolah ditiru juga, begitu juga rumah miskin dan rumah-rumah sakitnya, tetapi
dasar Islam. Sudah barang tentu ini membikin undurnya zending,karena anak murid
mestinya diterima di Zending terpaksa ditarik oleh Muhammadiyah, terlebih-lebih
di Vorslanden, hal ini sangat dirasai oleh golongan zending.
Dengan kegiatan-kegiatan yang
demikianlah tampaknya yang diletakkan oleh Dahlan dan selanjutnya dikembangkan oleh
para penerusnya dengan membentuk majelis-majelis tertentu dalam lingkungan
Muhammadiyah.
Dari usaha dan kegiatan yang
dilakukan Dahlan sepanjang hidupnya dapat diketahui, bahwa ia adalah tokoh yang
kaya dengan cita-cita dan kemauan untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan
sikap mereka terhadap agama, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran sosial
dan akidah. Ia lebih banyak melakukan kerja nyata untuk mewujudkan cita-citanya
dari pada menulis buah pikirannya dalam buku-buku ataupun dalam bentuk tulisan
lainnya. Dari itulah Solichin Salam menyebutnya sebagai manusia amaliat yang
pikiran-pikirannya terbaca dalam aktifitas yang dilakukannya.
Dari riwayat hidupnya dapat pula
diketahui bahwa ia tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat
kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya. Ia bukan intelektual yang mendapat
pendidikan Barat, tetapi seorang kiai yang alim dan berfikir secara modern dan
memandang jauh ke depan. Namun demikian ia dapat menempatkan dirinya di antara
mereka yang tidak sependidikan dengannya, baik dalam organisasi Budi Utomo,
maupun Sarekat Islam. Agaknya yang demikian disebabkan oleh kepribadian dan
pandangannya yang luas yang tidak menggambarkan profil umum dari kiai di
masanya. Barangkali sifat seperti yang ditunjukkannya itulah yang
dimaksudkannya dengan “Ulama’ yang progresif” seperti yang diharapkannya tumbuh
dari murid-muridnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa
dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah telah diletakkan Dahlan sebelum Ia wafat,
meskipun belum cukup keseluruhannya. Tampaknya lahirnya pemikiran yang demikian
dilatar belakangi antara lain oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern.
a.
Faktor Intern.
Faktor intern adalah faktor yang
berasal dari dalam diri umat Islam sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu
sikap beragama dan sistem pendidikan Islam. Sikap beragama umat Islam saat itu
pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap beragama yang rasional.
Syirik, taklid dan bid’ah masih menyelubungi kehidupan umat Islam, terutama
dalam lingkungan keraton, di mana kebudayaan Hindu telah jauh tertanam. Sikap
beragama yang demikian bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad kedua
puluh itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh pada masa terjadinya
proses Islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui proses Islamisasi
di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu tasawuf/tarekat. dan Mazhab
fiqih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sufi memegang peranan
yang sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau
daerah-daerah hampir seluruh nusantara ini.
Dalam suasana demikian Islam tidak hanya menjinakkan sasarannya, tetapi
juga harus menjinakkan dirinya. Dari penjinakan yang demikian lahirlah Islam
dengan warnanya yang tersendiri, yang oleh Hamka disebut sebagai Islam yang
memuja kubur, wali, dan sebagainya. Corak Islam yang demikianlah kelihatannya
yang disebut dengan “kejawen” yang merupakan sinkretisasi kebudayaan lama
dengan ajaran Islam.
Di daerah pedalaman, di mana kebudayaan Hindu telah mapan kejawen mendapat
tempat yang subur. Yogyakarta, tempat lahirnya Muhammadiyah, beralih menjadi
daerah kejawen, sedangkan sebelumnya, seperti kata Geertz, merupakan pusat
serta klimaks kultur Hindu-Jawa. Dari satu sisi domestikasi yang dilakukan para
wali mempunyai nilai yang positif. Islam dapat tersebar jauh menerobos
pusat-pusat kebudayaan Hindu di daerah pedalaman. Tetapi dari sisi lain,
seperti kata Alfian, kemurnian Islam semakin jauh, tercemar oleh
tradisi-tradisi lama serta kepercayaan yang telah lebih dulu tertanam.
dalam beberapa rupa upacara yang diadakan di keraton misalnya, campuran
Hindu-Islam jelas terlihat. Perayaan Grebeg, hari kelahiran sultan, kepercayaan
pada kekuatan magis yang dimiliki oleh benda-benda keraton, semuanya
menunjukkan sisa-sisa kepercayaan kepada keramat yang dimiliki oleh
orang-orang suci, dukun dan sebagainya, menjadi bagian yang terpisahkan dari
kehidupan umat Islam di awal abad keduapuluh.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah,
khurafat dan taklid yang berkembang pada awal abad keduapuluh mempunyai akar
yang jauh pada abad-abad sebelumnya. Islam dengan warna-warna yang demikianlah
yang ada di Indonesia ketika Muhammadiyah lahir, dan menjadi salah satu faktor
yang mendorong munculnya pemikiran-pemikiran Muhammadiyah.
b.
Faktor Ekstern.
Faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah
faktor yang bersifat ekstern yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial
Belanda. Faktor tersebut antara lain tampak dalam sisitem pendidikan kolonial
serta usaha ke arah Westernisasi dan kristenisasi. Pendidikan kolonial dikelola
oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumiputra, ataupun yang diserahkan
kepada misi dan zending kristen dengan bantuan finansial dari pemerintah
Belanda. Pendidikan yang demikian pada awal abad keduapuluh telah menyebar di
beberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai ke tingkat atas, yang
terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Dengan adanya
lembaga pendidikan kolonial terdapatlah dua macam pendidikan di awal abad kedua
puluh, yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis
pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai,
tetapi juga dari kurikulumnya. Pendidikan kolonial melarang memasukkan
pelajaran agama dalam sekolah-sekolah kolonial. dan dalam arti ini orang
menilai pendidikan kolonial sebagai pendidikan yang bersifat sekuler, di
samping sebagai penyebar kebudayaan Barat. Dengan corak pendidikan yang
demikian pemerintah kolonial tidak hanya menginginkan lahirnya golongan pribumi
yang terdidik, tetapi juga yang berkebudayaan Barat. Hal ini merupakan salah
satu sisi dari politik Etis yang disebut juga dengan politik asosiasi,
yang pada hakikatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik
penduduk asli Indonesia ke dalam orbit kebudayaan Barat. Dari lembaga
pendidikan ini lahirlah golongan intelektual yang bisanya memuja Barat dan menyudutkan
tradisi nenek moyangnya serta kurang menghargai Islam, agama yang dianutnya.
Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih diperkenalkan dengan ilmu-ilmu dan
kebudayaan Barat yang sekuler tanpa mengimbanginya dengan pendidikan agama,
konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tampaknya yang dimaksud
oleh Yunus Salam sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam di awal abad ke 20
itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami betapa kompleksnya masalah yang dihadapi
umat Islam di awal abad keduapuluh itu. Masalah agama, sosial dan politik
saling menyatu dan saling mempengaruhi. Agaknya inilah ciri khas krisis umat
Islam di abad itu. Dengan krisis yang demikian Muhammadiyah melihat
perlunya menyelematkan umat Islam, tidak hanya dengan mengembalikan mereka ke
pangkalan, ke ajaran Islam yang murni, tetapi terutama mengikatkan kembali jiwa
agama kepada para pemeluknya yang tampaknya kian lama kian mencair, di samping
menghadang kegiatan politik penjajah belanda yang semakin mengancam
kekuatan umat Islam. Bagi Muhammadiyah sarana yang paling tepat untuk
menyatukan kekuatan adalah organisasi yaitu melalui Muhammadiyah.dan dalam
perkembangan selanjutnya
melahirkan rumusan-rumusan serta konsep-konsep
dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya pendidikan.
v Konsep
Pendidikan Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan)
a.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan
pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai
kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali
Imran: 102).
" Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"
Tujuan Pendidikan yang digagas KH
Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai
"ulama-ulama intelek" atau "intelek ulama", yaitu sorang
Muslim yang memiliki keteguhan iman dan Ilmu yang luas, kuat jasmani dan
rohani.
Adapun tujuan pendidikan
Muhammadiyah mengacu pada tujuan Muhammadiyah yaitu: (I) Pada waktu
pertama kali berdiri tujuannya adalah Menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad
SAW kepada penduduk bumi putera didalam residenan Yogyakarta menunjukan hal
Agama Islamkepada anggotanya, (II) Setelah Muhammadiyah berdiri dan
menyebar keluar Yogyakarta menjadi memajukan dan menggembirakan
pengajaran dan memajukan Agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Tujuan pendidikan yang demikian
juga tercermin dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, terutama komponen bahan
pelajaran, yang merupakan kompromi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu
pengetahuan yang datang dari Barat.
Pada tahun 1977 dirumuskan tujuan
pendidikan Muhammadiyah secara umum berbunyi: “ (I) terwujudnya manusia Muslim
yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri sendiri, berguna bagi masyarakat
dan negara”. Beramal menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya;
(ii) Memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan umtuk
pembangunan dan masyarakat negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945.
Dengan demikian pendidikan perlu menentukan tujuan yang ingin dicapai, sehingga
mudah diarahkan dan dievaluasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dari tujuan tersebut, maka tujuan
pendidikan formal Muhammadiyah adalah:
ü
Menegakan, berarti membuat agar tegak dan tidak
tergoyahkan itu dengan memegang teguh, mempertahankan, membela serta
memperjuangkan ajaran Islam.
ü
Menjungjung tinggi berarti membawa di atas
segala-galanya, yaitu dengan cara anak didik supaya mengamalkan mengindahkan
serta melaksanakan Ajaran Agama Islam.
ü
Agama Islam yaitu: Agama yang dibawa para Rasul sejak
Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Segenap isi Ajaran Agama yang dibawa oleh
para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW berupa Al Qur'an Hadits. Maka siswa Muhammadiyah bisa
memegang teguh Agama Islam sebagai Agama Tauhid yang dibawa oleh Rasul
dan sudah sempurna sehingga dapat terbentuk insan-insan kamil.
b.
Pendidik
Pendidik Secara etimologi berarti
orang yang memberikan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik
adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan. Kata tersebut
seperti “teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.
Sedangkan secara Secara
terminologi adalah: Ahmad D Marimba mengemukakan bahwa "Pendidik adalah
sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik" adapun menurut
Muri yusuf yaitu "Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan
mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan".
Pengertian tersebut tidak
berbeda jauh dengan pengertian Pendidik menurut Muhammadiyah yaitu,
Pendidik/guru adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab atas
perkembangan anak didik dan mempunyai tanggungjawab menunaikan amanat Vertikal
(Alloh) dan horizontal (kemanusiaan).
Dalam mendidik tidak sembarang
orang bisa menjadi seorang pendidik dan untuk menjadi seorang pendidik ada
syarat yang harus dipenuhi. Menurut Muhammadiyah secara umum syarat menjadi
seorang pendidik yaitu harus memiliki ilmu, memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa,
harus memiliki akhlak teladan dalam kelasnya bahkan dalam kehidupan
sehari-harinya. Dari beberapa syarat terebut harus dilandasi oleh sikap mental
terutama akhlak teladan yaitu, siap menjalankan perintah Allah SWT, jiwa
pengabdian, ikhlas beramal, serta keyakinan dan kelurusan/kebenaran Agama
Islam.
Dengan demikian untuk menjadi
seorang pendidik menurut Muhammadiyah perlu memiliki persyaratan-persyaratan
khusus, diantaranya:
ü Harus seorang Muslim artinya beragama Islam yang beriman dan bertaqwa.
ü Anggota / guru simpatikan Muhammadiyah atau aisyiah.
ü Mempunyai keteladanan yang mulia baik di sekolah maupun di dalam kehidupan
sehari-hari.
ü Ikhlas.
ü Bertanggung jawab.
ü Mempunyai kemampuan istimewa dalam mendidik baik dalam menguasai
materi pelajaran maupun dalam program pelajaran seperti metode, pengelolaan
kelas, mengerti dan faham administrasi sekolah maupun dalam memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian.
c.
Peserta Didik
Peserta didik atau disebut juga Mutarabbi,
hakikatnya adalah orang yang memerlukan bimbingan. Secara kodrati, seorang anak
memerlukan Pendidikan dan bimbingan dari orang dewasa, paling tidak, karena ada
dua aspek, yaitu aspek pedagogis dan sosiologis.
Menurut Muhammadiyah peserta
didik merupakan bahan mentah atau objek dalam proses transformasi pendidikan.
Ia mempunyai keragaman yang berbeda dan sebagai makhluk Allah di muka bumi ini
sebagai khalifah yang perlu dididik dan dibina serta dikembangkan agar bisa
mengelolanya dan kembali kepada Khaliknya.
Dengan demikian maka anak didik
merupakan suatu objek yang akan menerima transformasi pendidikan, dan sebagai
objek yang akan menerima transformasi harus mempunyai syarat sebagai pelajar
yang baik yaitu;
ü Mempunyai akhlak yang baik dan mulia.
ü Mempunyai sikap yang sopan dan santun baik kepada sesama maupun kepada yang
lebih tua dan muda.
ü Harus bisa meneruskan perjuangan.
ü Harus dapat dipercaya dan cinta damai.
ü Dan bersedia mentaati peraturan yang ada di Muhammadiyah.
d.
Kurikulum
Menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 19 kurikulum
adalah sebagai berikut:
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu” (Arifin,
2003:36).
Kurikulum merupakan salah satu
komponen yang sangat penting dalam suatu sistem Pendidikan, karena kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman
dalam pelaksanaan pengjaran pada semua jenis dan tingkat Pendidikan (Ramayulis
2006:149).
Kurikulum yang digunakan di
Muhammadiyah merupakan kurikulum gabungan antara kurikulum pelajaran pesantren
dengan kurikulum modern dengan mempelajari ilmu-ilmu dalam bidang umum. Adapun
materi yang disajikan di Pendidikan Muhammadiyah harus menyentuh berbagai
aspek yaitu:
ü Aqidah akhlak
ü Hablumminallah.
ü Hablumminannas.
ü Bahasa dan Tarikh
Dengan demikian maka materi yang
disampaikan pada pendidikan Muhammadiyah adalah Pendidikan Agama yang mencakup
mata pelajaran aqidah akhlak, hadist, piqh, tarikh, bahasa, al-quran dan
kemuhammadiyahan. Selain pendidikan Agama di Muhammadiyah juga terdapat pendidikan
umum yang meliputi IPA, IPS Ilmu teknik, olah raga, matematika dll.
Bahan pelajaran di atas diberikan
secara berencana. Artinya bahan pelajaran tertentu diberikan di kelas
tertentu dengan waktu atau lama belajar di setiap kelas yang telah ditetapkan.
Di sekolah/pendidikan Muhammadiyah juga telah diterapkan sistem ulangan,
absensi Murid dan kenaikan kelas, dan kecakapan murid dinilai melalui ulangan
yang diberikan.
e.
Metode
Metode mengajar adalah cara atau
tekhnik untuk mencapai tujuan pelajaran, Metode
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh pendidik dalam
membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses
pembelajaran.
Kalau dalam sistem pendidikan
Islam tradisional dikenal metode sorogan dan weton, maka di lembaga pendidikan
klasikal seperti yang dipraktekkan oleh Muhammadiyah, metode pengajaran
yang demikian tidak diterapkan lagi. Di muhammadiyah murid tidak lagi hanya
menerima dengan kritis dan dengan perbandingan, terutama bagi kitab fikih yang
mengajarkan pendapat Mujtahid tertentu.
Adapun Metode yang digunakan di
Muhammadiyah yaitu Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas,
metode kerja kelompok, demonstrasi, latihan, sosiodrama, metode karya
wisata/belajar di alam.
f.
Lingkungan
Lingkungan pendidikan di
Muhammadiyah adalah segala sesuatu yang ada di sekitar kita baik berupa benda,
peristiwa maupun kondisi masyarakat, terutama yang dapat memberikan pengaruh
kuat kepada anak didik yaitu proses pendidikan berlangsung dan dimana
lingkungan anak didik bergaul sehari-hari. Lingkungan yang ada di pendidikan
muhammadiyah yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, keagamaan dan
lingkungan juga besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak didik karena
perkembangan jiwa anak didik itu banyak dipengaruhi oleh situasi lingkungan
yang ada dan lingkungan juga bisa berpengaruh positif dan negatif terhadap anak
didik tergantung bagaimana orang tua dan guru mengawasi dan membimbingnya.
Dibuat Oleh Mushaffaini (0901055131) dan
Lisda Agustia (0901055117)